www.suaralintas.com || Trik murahan ditampilkan dengan berkedok atas nama agama dan Tuhan. Model sok berpakaian ala orang sakti serta menjiplak ayat – ayat Qur’an dijadikan kerudung praktek perdukunan. Padahal semua itu tak lebih hanya sebuah kebohongan belaka terhadap apa yang diperankan. Mereka itu bak manusia bejat yang menjadikan agama dan Tuhan sebagai bisnis penipuan perdukunan murahan. Dengan segala tipu daya mereka mengelabuhi pasiennya atau calon mangsanya dengan mengatakan dan menunjukan jika dirinya orang yang paling bisa dan paling dekat dengan Tuhan, dan paling paham agama. Realita demikian itulah yang akhir – akhir ini menjamur di negeri ini,dan bisa kita lihat baik di layar TV, maupun di media cetak atau dimana saja yang belum terekspos oleh media. Mereka mengiklankan diri dengan memasang papan nama baik di media maupun di tempat-tempat umum jika mereka itu mengaku bisa apa saja baik di bidang pengobatan, bisnis maupun kebutuhan spiritual dan material lainnya. Bahkan ada yang terang-terangan dengan mematok atau membandrol harga yang mereka katakan itu sebagai mahar.
Perdukunan dan ala kiai-isme yang lebih populer dengan sebutan paranormal itu akhir – akhir ini marak menjamur di berbagai belahan penjuru di negeri ini.Mereka itu sepertinya tidak punya rasa malu sedikitpun untuk mendeklarasikan dirinya yang mengaku bisa ini, bisa itu bahkan bisa melihat alam gaib dan makhluk nya, malah mengatakan mampu menaklukan mahkluk gaib. Sungguh biadab dan bejat mereka ini. Padahal mereka itu tidak mempunyai kemampuan seperti yang digemborkan.
Semua itu tak lebih hanya untuk pembohongan publik, dan anehnya publik yang bodoh pun mudah terkelabui.Seharusnya publik menyadari jika mereka itu tak lebih dari manusia yang menistakan agama dan memperburuk citra agama dan Tuhan. Maka orang – orang yang demikian itu pasti akan dilaknat oleh agama.
Kita tahu bahwa agama itu adalah bahasa Tuhan yang bersifat mengatur dan memberi petunjuk tentang kebenaran kepada manusia agar manusia tidak terperosok dalam keterpurukan.
Agama merupakan hidayah bagi manusia agar dapat memelihara jiwanya menuju jalan hidup yang benar sesuai yang tertera dalam ajarannya.Dan agama mengajarkan untuk memelihara dirinya serta berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya dengan jalan yang benar.Agama juga mendoktrin manusia supaya berlomba – lomba dalam kebenaran dan kebaikan.Namun ironisnya manusia dinina bobokan kemewahan dunia, sehingga untuk mencukupi kebutuhan hidup ditempuh dengan jalan yang menyimpang dari rel agama. Lebih dari itu agama malah dilecehkan oleh manusia yang menamakan dirinya dukun atau paranormal dengan menjadikan sebagai alat untuk memenuhi kepentingan individualnya dengan cara merekayasa bahwa apa yang dikerjakan sesuai kebenaran dan perintah agama, atau bahasa hukumnya adalah berdasarkan petunjuk Tuhan atau agama.
Memang pada dasarnya manusia diciptakan sebagai makhluk berpengertian, berkesadaran dan berkehendak. Dengan demikian manusia bisa memilih apa yang disukainya baik memilih ajaran yang sesat, atau membelokan ajaran yang benar. Bahkan manusia bukan hanya bisa menyembah, tapi juga mampu mencipta sesuatu untuk disembah dan diikuti manusia lainnya. Petunjuk kebenaran agama yang mutlak keterwujudan bukannya diikuti melainkan malah ditentang sehingga yang muncul bukanlah kebenaran.Akibatnya timbul kerusakan manusia di dunia karena ulah manusia itu sendiri yang tidak patuh pada apa yang digariskan agama.
Membahas perihal agama senantiasa tak terlepas dari kehidupan manusia, memang dalam realitasnya agama berfungsi untuk kepentingan kehidupan manusia,Dan setiap memperbincangkan soal agama selalu dipertemukan pada kesulitan, sehingga definisi yang dipaparkan demikian eksklusif. Tak beda jauh dengan definisi ilmu sosial, maka wajar jika timbul kemajemukan penalaran yang definitif. Meskipun pada dasarnya perumusan agama itu harus diterapkan pada sebuah konsep validitas sebagaimana sesuai kriteria yang berlaku dalam konteks keilmuan eksak.
Kenapa demikian? Sebab agama itu adalah bahasa Tuhan yang realitas kebenaran dan kepastiannya teruji.Kendati keadaan yang berlaku tidak demikian halnya.Yakni agama dimunculkan dengan peran wajah ganda, hal ini bisa dicerna atau dipahami berdasarkan pengertian agama dari sudut pandang sosiologis.Bahwa apa yang disebut agama memiliki sejumlah persyaratan, meskipun secara umum agama sering diartikan sebagai relasi antara manusia dan Tuhan. Namun secara sosiologis sesuatu disebut agama jika memiliki sejumlah syarat:
Pertama, kemukjizatan yang mampu memberikan perlindungan kepada individu, maksudnya untuk mencapai keinginannya maka individu harus berhubungan langsung tanpa perantara dengan sesuatu yang dikultuskan dalam agama tersebut. Keyakinan yang terhadap dikultuskan harus dapat menumbuhkan akses tentang kebenaran dan kebaikan sebagai suatu konsepsi yang dijunjung tinggi secara universal.Terkait dengan hal ini harus kita garis bawahi agar tidak dikenal lagi orang yang mengklaim memiliki otoritas untuk menafsirkan bahasa agama.
Kedua, sesuatu dinamakan agama jika memiliki rangkaian – rangkaian sistematik mengenai peribadatan. Untuk mencapai apa yang dikultuskan ritual – ritual itu merupakan bentuk konkrit sistem ajaran sehari – hari yang menjadikan keterikatan seseorang (umat) terhadap apa yang diyakini, dan merasa berdosa jika tidak melaksanakan apa yang menjadi rangkaian sistematik ritual tersebut. Perbedaan cara dalam praktek peribadatan tidaklah menjadi sebab ditolak atau tercelanya seseorang melakukan penyembahan total kepada apa yang diyakininya. Sebab perbedaan tersebut merupakan kekayaan bahasa Tuhan.Oleh karena itu sangat tidak perlu kita mempersoalkan antar perbedaan agama yang nampak berbeda dalam menuju Tuhan.
Perbedaan ritual atau perbedaan dalam menyembah Tuhan adalah perbedaan lahiriah yang hanya bisa ditangkap oleh mata. Sedangkan hakikat dari ritual tersebut adalah penghormatan atas apa yang dianggap suci, agung, suatu maha segalanya. Ritual itu hanya simbol agama karena mengikuti rangkaian sistematik.
Ketiga, sesuatu bisa disebut agama jika dijumpai umat yang sudah memiliki ikatan ritual dan ada seseorang yang memimpin atau dianggap pembawa kabar bahagia dan pesan – pesan profetik kebenaran dan kebaikan.Atau sesuatu disebut agama jika ada pembawa kabar kebenaran di tengah masyarakat yang ditentang oleh sebagian masyarakat karena terjadi perbedaaan paham yang tidak sesuai dengan paham sebelumnya.
Keempat, sesuatu disebut agama jika adanya umat yang mempertahankan pesan suci kebenaran dari pembawa kabar yang hadir ditengah masyarakat yang beragam dan komplek. Ada yang tidak menerima apa yang dikabarkan dan ada juga yang mengikuti secara setia sehingga menjadi umat pilihan. Dan umat tersebut menjaga eksistensi ritual yang telah diajarkan oleh iman yang datang kepadanya sebagai pembawa kebenaran.
Kelima, yang dijadikan sesuatu bisa disebut agama jika memiliki kitab suci yang berisi pelajaran tentang kegiatan peribadatan.Kitab inilah kemudian ditafsirkan oleh para pembawa kabar dan orang – orang sesudahnya.Penafsiran hanya dikemukakan hanya untuk menyingkap pesan Tuhan yang sangat kompleks dan bervariasi.
Penyerahan diri manusia kepada sesuatu realita rohani bukanlah sesuatu hal yang terlalu sulit dipahami dan secara intrinsik, agma sukar dipersoalkan, sebab agama lahir dari manusia yang hadir di dunia dengan cacat bawaan.Permasalahan yang tampak di dunia keagamaan sekarang ini adalah bahwa agama sering mengalami penciutan signifikansi dalam kehidupan manusia.Agama telah jelas menjadi sekedar bagian dari kehidupan manusia dan tunduk kepada berbagai kepentingan – kepentingan manusia.
Untuk memperoleh kepuasan berbagai keinginan, manusia memperkosa segi – segi tertentu yang mendasar dari agama sehingga menimbulkan sesuatu ironi bahwa agama yang semula berpotensi untuk menciptakan suasana kekudusan dan eksistensial dalam diri manusia, justru ditantang untuk menyesuaikan diri dengan suasana kepuasan duniawi manusia.
Sehingga agama merosot sebegitu rupa, sebab diperlakukan sekedar sebagai faktor pendukung kepentingan individu atau lazim dimanfaatkan sebagai alat faktor pembenaran dan pengesahan terhadap sesuatu tindakan atau kebijakan manusia. Kondisi ini pas seperti apa yang dilukiskan Allport dan Ross dalam karyanya Current Perspectives In The Psychology Of Religion : suatu tipologi orientasi kehidupan keagamaan individu ialah orientasi intrinsik dan orientasi ekstrinsik individu cenderung memanfaatkan agama demi kepentingannya sendiri dan memandang agama dalam kerangka kegunaan pribadi untuk berbagai hal, antara lain untuk memperoleh rasa aman, pembenaran dari keuntungan ekonomi dan penerimaan sosial dan lain sebagainya.
Sejarah mengajarkan kepada manusia bahwa pemerkosaan terhadap nilai – nilai agama mengakibatkan bentuk pengayoman manusia terhadap agama itu sendiri.Dan kenyataan yang ada sekarang ini menunjukan banyak aksi pemerkosaan terhadap nilai – nilai agama oleh pemeluk agama yang seharusnya berupaya mengusahakan ketentraman umat sebaliknya malah terlibat dalam tindakan tercela yang mencederai agama.Agama yang seharusnya dihayati sebagai suatu cita – cita religius demi ketaqwaan kepada Tuhan dan pengabdian terhadap sesamanya sering kali dimanfaatkan untuk memuaskan kepentingan pribadi atau kelompoknya sendiri sehingga muncul fenomena yang menyimpang dari ajaran agama.
Dalam tingkatan kehidupan masyarakat, ketidak adilan, kesenjangan yang mencolok antara si miskin dan si kaya, eksploitasi hubungan majikan dan buruh nampak jelas.n oleh karena itu tidaklah mengherankan bila mana kontradiksi yang demikian itu membuat sebagian orang mempertanyakan makna agama. Masih banyak kemunafikan yang dilakukan terhadap agama tidak hanya disengaja, akan tetapi banyak pula yang dilakukan dengan sengaja bahkan dengan skala besar.
Agama menjanjikan harapan kebahagiaan namun juga mengandalkan perjuangan rohaniah, maka sudah saatnya kita bersikap jujur untuk membangun agama, bukan sebaliknya.Oleh karena itu penafsiran agama untuk kepentingan individu sebagaimana yang dilakukan oleh para normal bisa merugikan nilai – nilai agama dan Ke – Tuhanan dan harus ditinggalkan.Dan kita harus berorientasi dengan pola intrinsik yakni menjunjung nilai – nilai dasar agama dan Ke- Tuhanan serta berusaha menyikapi kebutuhan – kebutuhan yang bersifat pribadi dan disebarkan sedemikian rupa demi menjunjung nilai – nilai religius yang bersifat universal.
Oleh karena itu jika kita benar-benar memahami makna agama sebagai panutan dan penuntun kebenaran maka kita akan bersikap tegas dan tidak perlu percaya terhadap olah mereka yang mengaku para dukun dan paranormal yang menjadikan agama sebagai kedok praktek penipuan. Dan hanya kepada Tuhanlah semestinya kita bertasyahud dan mendatanginya.
Oleh : Ngar