Konklusi : Karena itu sejumlah besar anggota Dewan Perwakilan Rakyat di era rezim reformasi di negeri ini melakukan tindak kejahatan pidana korupsi, kendati ada sejumlah anggota yang belum atau tidak terungkap oleh lembaga penegak hukum. |
Ada sebuah survei yang menyebutkan bahwa DPR pernah dibubuhi cap atau label sebagai lembaga terkorup, hal yang demikian ini menunjukan rendahnya integritas moral para anggota lembaga yang telah diberi kekuasaan membuat undang-undang semakin menyimpang jauh dari perannya yang notabene berfungsi dan berkomitmen membela kepentingan rakyat.
Besarnya harapan rakyat akan peningkatan kualitas lembaga ini sangat wajar, sebab komposisi anggota DPR di era reformasi ini lebih memiliki keunggulan jika dibanding era sebelumnya. Baik keunggulan itu dilihat dari segi pendidikan, usia maupun latar belakang profesi. Dengan komposisi yang demikian itu bisa dinyatakan DPR di era reformasi memiliki potensi besar untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Malah yang terjadi berbalik, bukan membela kepentingan rakyat tapi membela kepentingan penguasa, partai dan pribadinya sendiri. Jika demikian yang terjadi wajar kalau rakyat di negeri ini menamainya DPR berwajah busuk.
Kebusukan-kebusukan apa saja yang dilakukan oleh anggota dewan baik pusat maupun daerah.
- Cap Lembaga terkorup.
Sebuah survey yang dilakukan Barometer Korupsi Global (BKG), menyimpulkan bahwa parpol dan DPR baik pusat maupun daerah memperoleh predikat lembaga terkorup. Fakta ini semakin memperjelas rendahnya integritas moral para anggota lembaga yang legislatif.
Mandat dan amanat yang diberikan rakyat bukanlah dijalankan sesuai fungsinya, melainkan hanya untuk memperkaya diri dengan menghalalkan berbagai cara, meskipun bertentangan sesuai posisi nya atau kedudukannya.
Mungkinkah lembaga ini di mata rakyat yang diwakilinya sudah tidak menunjukkan rasa komitmennya diatas kepentingan pribadi dan partai. Walaupun posisi yang disandangnya sudah jelas sebagai wakil rakyat sesuai dengan namanya Dewan Perwakilan Rakyat, bukan Dewan Perwakilan Partai (DPP).
Rendahnya komitmen memperjuangkan kepentingan hak-hak rakyat boleh dikatakan belum terwujud baik dari segi kinerjanya, perilakunya maupun keberpihakannya . Mereka malah berorientasi mencari kekayaan untuk kemakmuran dan kesejahteraan pribadi dengan cara yang tidak sewajarnya. Akibatnya rakyatlah yang harus menerima kerugian dan penderitaan, karena lembaga ini menyandang predikat terkorup.
Terlepas diakui atau tidak yang jelas perilaku tindak kejahatan yang dilakukan oleh sejumlah anggota dewan baik yang sudah terkuak oleh hukum maupun yang belum , itu berdampak merugikan rakyat. Sebab sikap korup menghalalkan berbagai cara untuk memupuk kekayaan pribadi adalah tidak mencerminkan moral anggota wakil rakyat. Dikatakan sebagai wakil rakyat seharusnya menjalankan fungsi kontrolnya terhadap lembaga lain agar tidak melakukan tindak kejahatan korupsi, yang terjadi malah sebaliknya, mereka menjadikan dirinya ikut bagian dari pesta korupsi.
Praktek korupsi di lembaga legislatif ini sebenarnya bukanlah hal yang baru, hal itu sudah lama terjadi, namun jika di era reformasi ini masih ada anggota dewan yang menumpuk kekayaan dengan cara yang tidak wajar, maka akan semakin menambah WAJAH BUSUK DPR.
Memang sesuatu yang menjijikan jika para anggota legislatif ini tidak berupaya serius menjadikan citranya kembali membaik dan benar-benar lebih profesional menjalankan fungsinya. Entah kapan rakyat akan merasakan bahwa DPR itu merupakan miliknya, sehingga mereka bisa berbagi rasa dan kepentingan. Anggota DPR merasa tergugah untuk menemui rakyatnya, bukan hanya menemui jika saat membutuhkan rakyat ketika menjelang pemilu saja.
Memang tidak setiap anggota legislatif bermata buta, masih banyak diantara mereka yang memiliki kejujuran, hati dan nurani . Bahkan dengan kejujurannya mereka tidak menolak jika dikatakan berwajah busuk, sebab dengan terang- terangan mereka mengatakan jika keberadaannya itu memang bagian dari sarang dilakukannya transaksi korupsi.
Ungkapan itu sebagai bukti pembenaran terhadap survei yang dilakukan BKG, menjadi bukti fakta banyaknya anggota dewan dari sejumlah partai yang terjerat kasus korupsi.
- Aspirasi Rakyat Tidak Tersuarakan
Kekecewaan rakyat terhadap kinerja DPR mulai nampak ketika anggota ini menunjukan ketidak-mampuannya menekan kebijakan pemerintah dalam segala bidang, baik terkait kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik dan lain-lainnya.
Ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja DPR dalam menyuarakan aspirasinya terlalu lemah atau tidak aspiratif, dan rakyat sudah lelah terhadap perilaku DPR yang tidak mampu mewujudkan perjuangan reformasi, dan rakyat hanya menjadi korban reformasi. Dalam kondisi yang demikian ini rakyat tidak perlu berharap besar bahwa DPR mampu berfungsi sebagaimana mewakili suara rakyat.
- DPR Bukan Mewakili Rakyat
Pada 29 Agustus 1945 dibentuk dan dilantik Komite Nasional Indonesia Pusat yang keanggotaannya dari sejumlah tokoh masyarakat dan golongan termasuk mantan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pada hari ini dijadikan sebagai hari lahir atau hari jadi DPR dan MPR. Karena KNIP dianggap sebagai embrio dari MPR dan DPR, yang mana melalui Maklumat Wakil Presiden Nomor X (eks) 6 Oktober 1945 KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menerapkan GBHN.
Hingga saat ini DPR menjadi milik rakyat sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945, namun apakah DPR yang dianggap sebagai wakil rakyat tersebut berfungsi sebagaimana yang diisyaratkan oleh UUD 1945, atau berfungsi sebaliknya yakni bukan sebagai wakil rakyat.
Sorotan tajam terhadap DPR dari rezim ke rezim terkait kurang berfungsinya lembaga ini sebagai wakil rakyat dalam menyalurkan aspirasinya sangat memprihatinkan. Suara-suara ketidakpuasan dan kekecewaan serta membosankan sering terlontar dari mulut rakyat. Karena rakyat sudah terjebak sepenuhnya menaruh harapan pada kinerja dan komitmen wakil rakyat dalam keberanian dan kepeduliannya memperjuangkan aspirasi dan cita-cita rakyat.
Besarnya harapan rakyat tersebut sangatlah beralasan sebab dimensi integral menjadi wakil rakyat adalah komitmen dan sekaligus sebagai politik kerakyatan, yang mana DPR merupakan ujung tombak dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Kendati fenomena politik tidaklah demikian, yakni menggelincir berbalik.
Apakah yang demikian ini karena faktor sistem yang konstitusinya menonjolkan sifat integralistik atau sewaktu pencalonan anggota legislatif lebih bersifat nepotisme dan kolusiisme yang ujungnya berdampak kualitas politik kerakyatannya meragukan.
Realita demikian inilah yang terjadi dan berkembang di dalam ruang lingkup politik lembaga perwakilan rakyat meski kritik dan unjuk rasa tak bisa dihitung dengan jari.
Kurang berfungsinya peran DPR dalam mengemban amanah rakyat harus diakui dan tidak perlu berkilah maupun berdalih, sebab kecenderungan berorientasi kepada kekuasaan lebih kuat ketimbang memperjuangkan kepentingan rakyat. Hal ini menyangkut nepotisme, kolusi dan kualitas.
Seharusnya di era reformasi yang sudah lebih seperempat abad ini fungsi DPR yang memiliki kekuasaan legislatif layak sejajar atau seimbang dengan kekuasaan eksekutif, sehingga kondisi kekuasaan tidak timpang.
Untuk memenuhi tuntutan rakyat agar DPR benar-benar menjadi wakil rakyat adalah melakukan terobosan menunjukkan citranya sebagai wakil rakyat yang berdaya dan ideal di mata rakyat. Cara ini diwujudkan jika DPR mampu memposisikan perjuangannya secara independent, kritis dari populis.
Upaya mengubah citra masih terbuka yakni dengan meningkatkan kinerjanya dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya. Pemberdayaan sebagai wakil rakyat ini sangat dibutuhkan sekali demi mengembalikan citra.
Memang diakui, peran DPR di era reformasi ini mengalami perubahan, berapa hak yang sebelumnya terkesan mlempem mulai dipulihkan. Meskipun ada juga hak yang belum sepenuhnya digunakan. Kenyataan ini menunjukkan penguasa masih lebih dominan.
DPR memang disenjatai dengan hak-haknya yang bisa memaksa eksekutif melakukan atau minimal mendengarkan apa yang diinginkan. Tapi menjadi kenyataan sejarah bahwa DPR lemah dan terkooptasi oleh kepentingan kekuasaan, meskipun rakyat menginginkan DPR menjalankan fungsi seutuhnya. Bukan berposisi sebagai institusi yang memberikan legitimasi politik bagi kepentingan penguasa.
Harapan perubahan tidak lepas dari berbagai kritik terhadap lembaga wakil rakyat ini, sebenarnya kritik tersebut bisa dipahami indikator yang terlihat selama ini tak lepas dari pelaksanaan fungsi yang tidak dijalankan secara optimal serta keminiman penggunaan hak.
Fungsi DPR sebenarnya dikelompokan dalam dua bidang yakni bidang legislatif dan kontrol agar dapat melaksanakan kedua fungsinya . selain harus dihadapkan pada persyaratan yang berat dan berbelit-belit juga melalui prosedur panjang dan harus pula disetujui melalui rapat paripurna DPR.
Kenyataan itu menegaskan produktivitas DPR rendah, dalam hal ini implikasi negatif tak dapat sejalan dengan perkembangan masyarakat dalam legislasi. Dampaknya muncul tekanan-tekanan rakyat dalam bentuk gerakan ekstra parlementer yakni aksi demo di jalan dan lain-lainnya.
LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT ADALAH LEMBAGA TINGGI NEGARA Dan sudah barang tentu anggotanya harus memiliki kemampuan kualitas dan kredibilitas yang lebih dari rakyat yang terwakili. Dan lembaga ini bukan tempat penampungan orang yang asal-asalan saja dan bukan juga tempat tour of duty melainkan tempat orang-orang cerdik dan kreatif dengan kualitas spesial dan menguasai permasalahan rakyat serta berani mengambil resiko demi kepentingan rakyat.
Maka dalam perekrutan pencalonan anggota DPR seyogyanya jangan terjadi pengelolaan seperti all in the family business. Akibatnya konsekuensi legislatif kurang.
Menjadi wakil rakyat memang tidak mudah, sebab menjadi anggota parlemen memang merupakan panggilan maka jika mau mencalonkan diri menjadi anggota dewan harus mawas diri dan melakukan kontemplasi atas tuntutan rakyat.
Tradisi membentuk dinasti politik berdasarkan hubungan darah bukanlah hal baru. Tradisi ini hampir terjadi disemua sistem politik. Lihatlah di tubuh partai-partai yang berkuasa anaknya dipersiapkan untuk menggantikan kedudukan orang tuanya. Tidak ada salahnya karir politik dengan ikatan keluarga dicampur adukan.
Sejarah politisi menyadari bahwa pada saat mereka memperoleh kedudukan kepentingan rakyat bisa yang diutamakan bukan kepentingan partai maupun keluarga.
Kehidupan politik di negeri ini menghadapi babak baru politik keluarga dan keluarga politik secara nyata mulai menampakkan dirinya dalam tubuh organisasi partai.
Dan mereka yang diedarkan anggota DPR kebetulan mempunyai hubungan keluarga sehingga dalam prakteknya tidak sejalan sesuai dengan realita yakni adanya DPR bukan sebagai wakil rakyat meskipun mereka dipilih rakyat.
Keadaan seperti ini yang seharusnya disadari para wakil rakyat saat ini dalam mewujudkan pemerintah yang dipercaya seluruh rakyat. Para wakil rakyat diharapkan mampu membawa perubahan dan pembaharuan yang positif bagi terwujudnya tradisi politik baru yang lebih ideal. Dan dapat menghidupkan nilai-nilai keadilan, kebenaran demokrasi berdasarkan hukum.
Kuncinya wakil rakyat adalah mengedepankan komitmen kerakyatan sehingga dalam keadaan apapun harus konsisten tetap memperjuangkan kepentingan rakyat. Apabila komitmen kerakyatan ini sampai pudar dialihkan ambisi pragmatis dan artifisial maka anggota DPR tersebut posisinya bukan sebagai wakil rakyat karena para wakil rakyat telah mengkhianati kepercayaan dan harapan rakyat. Dalam konteks inilah peran dan fungsi DPR telah berubah menjadi bukan wakil rakyat.
Oleh : Ngar