PETUAH KEHIDUPAN

0
199

Siang ini, dimana di kota yang aku lalui, begitu menyengat panasnya. Sehingga membuatku harus berhenti sejenak dari perjalanan yang melelahkan ini. Aku senderkan tubuhku dan duduk bertengger diatas balok kayu tua yang tergeletak di pojok pinggir kota.

Sambil memandangi lalu-lalang kendaraan, tak jauh dari peristirahatanku, nampak sosok lelaki tua renta sedang berjalan terseok-seok tanpa alas kaki, dengan pakaian kumal. Terik matahari yang membakar tubuhnya, dan debu asap kendaraan bermotor yang menyengat hidung hingga ke rongga dada,  sama sekali bukan menjadi beban langkahnya. Ia tetap melangkah dan berjalan.  Meski kerut-kerut wajahnya yang kusut, tak membuat  semangatnya memudar, untuk terus mengayunkan kaki. Entah kemana kaki ini hendak membawanya.

Tubuhnya yang dekil kotor dan pakaian compang-camping lusuh, semakin menambah bau tak sedap di tubuhnya. Sehingga membuat orang lain yang memandangnya terasa jijik. Apalagi untuk mendekat dan bertanya sapa. Sehingga seperti tak ada seorangpun menghiraukan dan peduli akan keberadaannya.

Namun, hal demikian itu, justru  tak membuat si lelaki tua itu tersinggung atau bersedih. Malah sebaliknya, membuat keberadaannya semakin bebas tak terbebani oleh keadaan.

Tiba-tiba lelaki tua itu tersentak menghentikan langkahnya, seperti ada sesuatu yang membuatnya harus berhenti sejenak. Kemudian duduk  tak jauh dari tempatku bersandar, matanya yang sayu menatapku dengan pandangan yang lesu dan sedih, seperti sedang terkenang dan membayangkan sesuatu di benaknya.

Dalam batinku bergumam rasa iri, “alangkah  bebasnya lelaki tua itu, keadaan sekeliling yang acuh-tak acuh dan mengecilkannya, bukanlah beban  rintangan untuk mengarungi dan menemukan makna kehidupan hakiki yang sedang dijalani”.

Suasana demikian itu membuatku untuk berusaha mendekat bertanya sapa. Barangkali  dia haus dan lapar. Namun tak sepatah kata pun tanya ku di jawab. Hanya sebatas  anggukan kepala. Kuulangi lagi dengan setengah memaksa, aku berusaha menyodorkan makanan dan minuman bekal  perjalananku. Nampaknya lelaki tua itu tau, jika aku benar-benar tak memiliki maksud lain dan semata-mata ikhlas menawarinya.

Akhirnya dia melahap dan menghabiskan makanan dan minuman yang aku suguhkan, tanpa tersisa sedikitpun. Nampaknya memang agak cukup lama, perut si lelaki tua itu tidak terisi. 

Selesai menghabiskan makanan tiba-tiba lelaki itu membuka tas bawaannya dan meng-olak-alik bawaannya, di dalam tas yang sudah kumal .

Aku terus memperhatikan, sepertinya dia sedang mencari dan mencari sesuatu, tanpa  berucap kata sepatah pun ia terus mencari. Nampaknya seperti mencari sebuah sesuatu barang yang berharga.

Selang beberapa waktu, wajahnya nampak berbingar dan menatapku, mengacung-acungkan sesuatu padaku, menunjukan  sesobek kertas kumal yang sudah kusut, namun tulisannya masih nampak jelas untuk di baca, di tulis dengan huruf latin tinta hitam..

Lelaki tua itu sepertinya sudah tak mampu berucap kata, karena terlalu lama dalam keterasingan dan diasingkan pula oleh lingkungan. Meski sebenarnya dia mampu bertegur sapa.

Ditariknya saya untuk lebih merapat dan membaca apa yang tertulis di dalam sesobek kertas tersebut. Begitu sehabis membaca saya terharu, karena apa yang tertulis sangat menyentuh perasaan hatiku.

Inilah bunyi tulisan tersebut “ Petuah ini kutulis untuk mu anak-anakku, sambil memandangi tidurmu yang pulas. Angin menerobos ke rumah kita berlobang tanpa atap, pintu dan jendela, menerpa wajah yang mungil. Keadaan itu kubiarkan saja karena aku mengerti dan memahami keberadaan kita, meski begitu aku tetap berusaha sekuat apapun untuk melindungimu, itu pasti!. Begitu pun toh alam nanti yang akan menjadikan teman perjalananmu, yang membuatmu kokoh dan tegar.

Anak-anakku….. 

Akan engkau kenal nanti bahwa alam sangat bermacam-macam bentuknya. Dan dia bisa mengajarimu berbohong, berpengasih dan menumbuhkanmu menjadi  manusia egois.. Semua tergantung engkau anakku.

Mestinya aku merasa sedih, bahwa tugasku sebagai orang tua tak lebih dari mengantarkanmu ke dunia dan kemudian membiarkanmu kebingungan tanpa aku sepenuhnya membimbingmu karena dominan lingkungan yang begitu menekan kuat.

Di dalam benakku bertumpuk rasa malu dan bersalah, bahwa aku sendiri belum terbebas dari rasa bingung dan ketidakmampuan terhadap tekanan lingkungan. Meski pada akhirnya tekanan lingkungan menjadi milik kita.

Anakku ….

Malam ini aku masih mampu melihat kepolosan wajahmu yang penuh kejujuran dan nafasmu masih beraroma susu ibumu. Siapapun masih ingin memelukmu dan pada saat ini, engkau masih dimanjakan kemurnian kehidupan. Dan kemurnian yang akan ditentang keras dan dihancurkan oleh lingkungan lewat bertambahnya waktu dan usiamu.

Kita layak bersedih anakku, bahwa kemurnian  dan kejujuran itu tak terbawa terus ketika kita semakin bertambah usia. Pada masa anak-anak, ayahmu harus bersiap-siap melihatmu tumbuh dan engkau juga mulai belajar berbohong demi kepentingan ego  kekanak-kanakanmu.

Ketika semakin tumbuh dewasa… engkau mulai mampu berdebat dan merasa hebat, dan engkau juga mampu membantah orang tuamu.

Pada saat inilah kita seperti telah menjadi manusia yang sama, dan sama-sama berjuang untuk mempertahankan diri. Batas antara orang tua dan anak menjadi tipis.

Begitu keinginan kita menjadi manusia merasa terjajah, dan keinginanku untuk memintamu terus patuh akan bertabrakan dengan naluri kedewasaan dan pemberontakan yang semakin dewasa.

Tidurmu masih tetap lelap anakku, dan waktu begitu cepat berlalu demikian pula engkau kini telah tumbuh dewasa kemudian pergi mencari kehidupan masing-masing

Anakku…..

Aku menulis ini hanya untukmu, agar engkau lebih mengerti kondisi negeri ini. Dan aku sebagai orang tua berharap engkau banyak mengetahui situasi perkembangan negerimu. Bukan maksudku mengecilkan dirimu, tapi sebagai orang tua percaya jika dirimu tentu juga sepakat bahwa keadilan dan kebenaran demi kemanusiaan harus selalu dikedepankan dari segala-galanya. Dan menjadi perisai perjuangan kita dalam mengarungi kehidupan ini. Dan itu harus tetap tak terkalahkan meski penguasa bengis membelenggu kita.

Anakku…. hari ini aku melihat suasana di jalan-jalan telah disibukkan pemasangan poster-poster dan spanduk–spanduk dengan berbagai wajah atau poto-poto dan tulisan-tulisan yang penuh kebohongan. Kamu harus cermati itu dengan jernih anakku…… alangkah panasnya situasi perpolitikan di negerimu ini….. karena kebohongan menjadi nomor satu dan dijadikan alat memperoleh kemenangan….., ah aku jadi ikut-ikutan latah… maafkan anakku.

Anakku….

Kita harus berpihak kepada siapa……Padahal tak ada yang mau berpihak kepada kita

Ketika kita dalam kelaparan dan uang menjadi alat dalam segala-galanya, apakah kita harus tetap mempertahankan prinsip kita?

Memang tidak hanya kita saja yang dikecewakan, mereka yang miskin, gelandangan dan pengangguran itu juga sangat kecewa. Hampir semua kecewa, termasuk nyamuk pun menangis anakku, karena munculnya iklan-iklan pembasmi nyamuk.

Namun anehnya para penjilat kebohongan di negeri ini terkesan membenarkan kebohongan-kebohongan tersebut selama-lamanya.

Kehadiranmu di negeri ini memang sangat aku impikan, tapi aku sangat bersedih karena aku tidak bisa lama-lama terus bersamamu, karena sang waktu telah menantiku yang tidak bisa aku tolak.

Anakku ada untaian kata bahwa seseorang itu memiliki sesuatu dan ia ingin melepaskan semuanya, apakah ada ajaran yang melarangnya. 

Dan setiap orang tentu bebas dengan idenya dan bukan masalah keharusan karena tidak ada aturan yang melarang, begitupun aturan juga tidak mewajibkan orang lain mengikuti ide tersebut.

Kita bebas melakukan apa yang kita inginkan anakku, tetapi tidak berhak memaksa orang lain mengikuti kehendak kita.. Dengan demikian kita bebas untuk meyakini sesuatu anakku dan juga bebas untuk tidak meyakini sesuatu sesuai dengan suara hati nurani kita yang muncul.

Jika kita sudah meyakini maka kita wajib mentaatinya dan bertanggungjawab pula sesuai yang ada dalam suara hati kita. Disini ada keharusan yang mengikat diri kita. Karena kita telah memasuki prinsip ajaran dengan kebebasan pilihan suara hati kita. Kebebasan berubah terikat karena prinsip ajaran.

Anakku………

Sekarang ini bertebaran figur-figur ambisius untuk jadi penguasa tanpa mau mengoreksi  kemampuannya, hal ini merupakan virus yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akibatnya negeri dikuasai para koruptor. Dan negeri telah kehilangan sosok yang menjadi tauladan sehingga banyak orang-orang kebingungan tanpa arah.

Entah dengan pertimbangan apa sosok-sosok koruptor menjadi pilihan untuk memimpin negeri ini..Apakah itu merupakan toleransi? Ataukah sekedar kekaguman dan memilihnya. Seperti ketika seseorang bertanya, “ Apakah tidak berbahaya jika kandungan kejujuran moralnya dan kemampuan kepemimpinannya politisnya tidak seberapa besar ?

Anakku…..

Bagi kita senang atau sedih hampir tak bisa kita rasakan

Kutegaskan kepadamu agar engkau tahu bagaimana belajar mengarungi kehidupan ini. Jangan cepat mengeluh dan putus asa meski ujian cukup berat.

Engkau akan merasakan dan melihat saat rekayasa penguasa yang memakan tumbal.

Anakku…

Jangan engkau buru-buru marah dan putus asa karena keadaan ketertinggalanmu dari mereka, itu bukan berarti ketinggalanmu dari kehidupan.

Yakinlah bahwa masih ada yang lebih baik dan sempurna meski letaknya jauh dan tersembunyi. Ini bukan nasehat karena kita kalah dalam kompetensi atau karena ketidakmampuan kita ikut di tengah lalu lalang percaturan kehidupan. Tetapi yakinilah ini sebagai pilihan yang sanma-sama kita perjuangkan. Pilihan ada kalanya memancing kesalahpahaman, tak usah kita ragu dan maju terus dan tabraklah tembok keragu-raguan tanpa mengurangi rasa hormatmu pada pengaruh lingkungan.

Anakku…

Engkau jangan tertipu oleh gebyarnya keindahan, bahwa keindahan semacam itu sebenarnya adalah sumber malapetaka karena ia menuntut segenap indramu.

Berkacalah bahwa keramaian tak pernah memberi kita ruang untuk mengenal diri sendiri. Semakin engkau terbius oleh keramaian semakin membuat engkau asing terhadap dirimu sendiri. Pada saat kesedihan atau kekurangan membelitmu akan engkau dapati dirimu yang seolah-olah tertinggal dari keadaan zaman.

Engkau merasa  kehausan  untuk mengejar ukuran yang semakin tak terkejar. Engkau akan berlari dan terus berlari untuk sesuatu yang tak pernah akan engkau dapat. Berhentilah anakku. Kau akan letih dan nafasmu seperti sedang berontak dan pemberontakan terhadap kehidupan ini. Dan percayalah alam selalu memberi jaminan pada kehidupan ini. Kita sering lupa menghargai apa yang ada pada diri kita sendiri. Kita menganggap kenikmatan ini akan langgeng menjadi milik kita . Inilah kenapa banyak penguasa yang rakus menjadi sakit ketika kekuasaannya hilang atau tersingkir dari kekuasaannya. Ini adalah gambaran dari orang-orang picik. 

Tertanda ayahmu.

 

Oleh : Ngar Ghibran

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini