“Maka berikanlah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka”. QS. Al-Ghaasyiyah : 21,22.
Merdeka……. Merdeka……………..Merdeka……………!
Suara itu bergema dengan pekikikan nada tinggi dan keras ke seluruh penjuru negeri ini, mereka yang berdiri di podium disertai semangat berapi-api mengajak seluruh hadirin untuk menirukannya sambil mengepalkan tangan kanan dan mengangkatnya ke atas, hadirin pun menyambutnya dengan suara yang tak kalah gentarnya.
Peristiwa demikian itu selalu terjadi serentak setiap tahun di seluruh penjuru pelosok negeri ini karena bangsa ini selalu menyambut dan memperingati HUT Kemerdekan RI jatuh pada 17 Agustus dengan meriah . Bangsa ini menggelar berbagai kegiatan dan acara baik yang diselenggarakan warga masyarakat di tingkat jajaran RT, RW, Desa, Kota, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten maupun provinsi. Realita demikian itu bisa dimaknai jika rakyat di negeri ini mencintai kemerdekaan dan membenci penindasan dan penjajahan baik yang dilakukan oleh kekuatan pihak asing maupun penguasa negeri nya sendiri. Yang perlu dipertanyakan adalah benarkah negeri ini, bangsa dan rakyat nya sudah merdeka dan terlepas dari belenggu penjajahan dan intervensi kekuatan asing?
Berbicara masalah kemerdekaan tentu tak terlepas dari masalah penjajahan. Dikatakan merdeka berarti bebas dari intervensi dan jajahan dari pihak manapun. Oleh karena itu kita harus memahami arti kemerdekaan secara mendasar, dan apa pula hak kemerdekaan bagi rakyat yang ada di dalamnya.
Lazimnya terdapat dua jenis penjajahan yang terkait kemerdekaan yakni penjajahan fisik manusia dan non fisik (penjajahan kekayaan alam yang berupa perekonomian bangsa). Selama bentuk penjajahan masih ada maka bangsa ini belum bisa digolongkan bangsa yang merdeka secara mutlak atau utuh. Pertimbangannya adalah selama kekuatan asing masih mendominasi perekonomian negeri ini maka hak kemerdekaan belum terpenuhi sepenuhnya . Akibatnya bangsa ini akan terjajah terus sepanjang pemimpin negeri ini atau elit politik birokrasi pemerintahan ini tidak memahami makna hakiki kemerdekaan secara mendasar.
Semangat rakyat menyuarakan kemerdekaan dengan gegap gempita tak bisa dibendung karena mereka meyakini jika kemerdekaan merupakan hak setiap rakyat, bangsa dan negara. Sebagaimana yang tertuang dalam UUD 45 bahwa kemerdekaan adalah hak setiap insan maka segala bentuk penindasan, intimidasi dan penjajahan harus ditiadakan atau dihapuskan .
Betapa mahal nya kemerdekaan ini, yang telah diperjuangkan dengan mengorbankan banyak jiwa, harta dan segala-galanya, namun sangat disayangkan jika bangsa ini umumnya dan penguasa negeri ini khususnya menutup mata dan telinga membiarkan adanya bentuk penjajahan yang sifatnya halus dan terkesan tidak dirasakan masyarakat, dilakukan oleh kekuatan pihak asing yang berusaha menguasai perekonomian di negeri ini.
Mau atau tidak mau, penguasa negeri ini yang mempunyai kebijakan harus menginterpretasikan kemerdekaan ini, dan janganlah kemerdekaan ini yang telah diperjuangkan bangsa menjadi kemerdekaan semu lantaran kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkannya, nota bene akan mendudukan rakyat terasing dari negerinya dan dirinya sendiri. Seharusnya elit politik di negeri ini hendaknya mendorong jati diri rakyatnya untuk menemukan dan memiliki dirinya dan negerinya sendiri, tidak terasing dan terisolir di negeri nya sendiri.
Perlu dipahami bahwa tuntutan kemerdekaan yang disuarakan dan didambakan rakyat itu mampu mendorong munculnya potensi tinggi pada setiap insan, sebab pada hakikatnya potensi-potensi demikian itu bersifat sakral yang memiliki keistimewaan untuk mewujudkan kemerdekaan mutlak.
Tentu sangat memprihatinkan bagi kemerdekaan itu sendiri yang telah diperjuangkan oleh pendahulu nya,jika kini telah di obok-obok pihak asing lantaran kebijakan-kebijakan para elit politik yang mengatas-namakan kepentingan rakyat. Padahal, hakikatnya tak lebih untuk kepentingan dan kesejahteraan maupun kemakmuran dirinya sendiri dan kelompoknya. Rakyat tetap dipinggirkan, dan terus dalam lingkup kemiskinan, karena kebijakan-kebijakan tersebut tidak berpihak pada kemerdekaan dan bertolak belakang dari rasa keadilan rakyat.
Masuknya sejumlah lembaga finansial asing di hampir seluruh sektor ekonomi telah membonsai perekonomian negeri ini yang hidup dalam bayangan pihak asing. Kebijakan-kebijakan elit politik dinilai telah meng-iya-kan dan merestui jalan masuknya pihak asing mendominasi ekonomi negeri ini. Misalnya PP 29 Tahun 1999 menyatakan bahwa pihak asing boleh menguasai 99 persen saham perbankan di negeri ini. Akibatnya pada 2011 kepemilikan asing pada 47 bank menguasai ekuivalen 50,6 persen dari total aset perbankan nasional yang mencapai Rp. 3.065 triliun.
Begitupun pada UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas dimana Pertamina sebagai BUMN dilarang melakukan kegiatan usaha di bidang hulu dan hilir tanpa memenangkan tender meski minyak dan gas itu milik negeri ini sendiri. Yang jelas UU ini memberi peluang pihak asing untuk memenangkan tender mengelola dan mengeksplorasi migas di negeri ini. Akibatnya pihak asing bebas menguasai migas sedang pertamina beserta mitranya hanya menguasai 16 persen dari produksi migas, sisanya dikuasai pihak asing. Sungguh mustahil jika negara melarang dirinya sendiri untuk mengeksplorasi dan sekaligus menjual minyak dan gas di negaranya sendiri.
Pada UU No 25 Tahun 2007 atau Undang- Undang Penanaman Modal( UUPM) mempunyai sejumlah pasal yang prinsipnya lebih cenderung meminggirkan kepentingan rakyat di negeri ini. Sebaliknya lebih memberikan jaminan hukum pada pihak asing yang memiliki kepemilikan hak atas tanah yang berjangka panjang ada jaminan kebebasan untuk mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang dikehendaki. Sebenarnya Liberalisasi di bidang penanaman modal ini sudah berangsur-angsur dilakukan pengurangan pada rezim orba, malah justru di era reformasi terjadi sebaliknya, aturan-aturan investasi asing dipermudah.
Memberikan keistimewaan kepada pihak asing atas akses kekayaan alam di negeri ini sama saja memasukkan kepentingan pihak asing untuk menguasai dan mengeksploitasi bumi, air dan pasar di negeri ini sebesar-besarnya untuk kemakmuran pihak asing.
Pengerukan kekayaan alam oleh pihak asing di negeri ini melalui Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan peraturan lain-lainnya, sama hal nya memberi fasilitas pihak asing untuk kembali menjajah negeri ini secara legal. Sudah barang tentu kenyataan ini akan mencoreng makna dan cita-cita kemerdekaan yang selalu didengungkan para pendiri negeri ini. Keharusan negeri ini menjalankan apa yang diarahkan, dikatakan dan ditawarkan pihak asing mencerminkan situasi dan kondisi adanya ketidakmampuan elit politik memimpin negeri ini.
Pasalnya, sejauh ini neoliberalisme dan neoimperialisme dianggap telah merusak negara karena telah melakukan penjajahan dalam wujud non fisik yakni di bidang perekonomian. Seharusnya elit politik pemerintahan bersikap tegas , sebagaimana yang diamanatkan kemerdekaan ini , yakni tidak membiarkan pihak asing menguasai kekayaan alam negeri ini, baik di bidang minyak dan gas maupun bidang-bidang lainnya. Sebab di bidang migas tercatat 60 kontraktor asing hampir menguasai 90 persen minyak dan gas di negeri ini, belum di bidang perkebunan maupun bidang lain-lainnya. Di bidang perkebunan karet dan sawit total 1,2 juta hektar lahan sudah dikuasai pihak asing diatas 50 persen dari jumlah lahan yang ada. Begitupun terhadap pulau, sudah ada enam pulau yang dikuasai pihak asing yakni pulau Karimun Jawa Jepara, pulau cubadak, pulau Anambas, Pulau Tanjung Keramat, Pulau Raja Ampat, Pulau Wakatobi.
Sejarah mencatat bahwa masuknya kekuatan asing hingga berhasil menjajah negeri ini, sebelum negeri ini memperoleh kemerdekaan, adalah bukti jika pihak asing melakukan penjajahan itu terlebih dahulu melakukan penjajahan melalui persekutuan perdagangan atau praktik monopoli ekonomi. Pada awalnya masyarakat menyambut baik dan menawarkan kerjasama dengan penandatanganan perjanjian terkait kebijakan-kebijakan yang dibuat sehingga menghasilkan kesepakatan yang legal, meski isi nya cenderung mengarah pada praktik monopolisme terhadap penguasaan kekayaan alam.
Dengan sikap munafiknya, pihak asing berusaha mengambil hati para penguasa negeri ini sehingga pengaruhnya bertambah besar dan setapak demi setapak bangsa ini menjadi taklukannya.
Persekutuan dagang yang disebut VOC (Vereenigde Oost Compagnie) merupakan contoh realita sejarah yang telah mendapat hak secara konstitusional memonopoli perekonomian di negeri ini. Akibat peraturan monopoli tersebut berdampaknya pada ketidakpuasan di kalangan rakyat, sebab rakyat merasa tertekan dan tertindas.
Eksploitasi kekayaan alam di negeri ini yang terjadi pada masa VOC dengan peluang besar untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besar dalam memperkaya diri melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh penguasa saat itu, akankah terulang kembali di era reformasi ini ?
Jika sikap elit politik pada pihak asing demikian itu adanya yang terjadi di era reformasi ini, maka besar kemungkinan, prediksi ini terulang kembali, sebagaimana apa yang terjadi di masa VOC. Jika demikian, rakyat tinggal menunggu munculnya sosok pemimpin dan penggerak massa untuk menentang kebijakan-kebijakan yang dinilai sangat merugikan bangsa dan negara.
Demikian ini tentu penting bagi rakyat dan bangsa untuk menyelesaikan dan menuntaskan persoalan ini, karena hampir semua bidang dikuasai asing, kemerdekaan bangsa telah terjajah, negara sudah tergadaikan, penguasa negeri sudah tak berdaya menghadapi tekanan pihak asing,dan para elit politik dalam membuat kebijakan bukan untuk kepentingan rakyat justru untuk memenuhi kaum kapitalis dan imperialis. Buktinya PP Nomor 29 Tahun 1999, UU Nomor 22 Tahun 2001 Migas, UU kelistrikan, UUPM Nomor 25 Tahun 2007, UU Nomor 40 tahun 2004 Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU No. 24 2011 Badan Penyelenggara jaminan Sosial dan lain-lainnya.
Tak pelak, UU dan kebijakan-kebijakan tersebut pun menunai kritik dan kontroversi, dinilai bertentangan dengan semangat kemerdekaan dan tidak sejalan dengan apa yang menjadi tujuan alam reformasi. Sejumlah kalangan masyarakat mempermasalahkan eksistensinya , menuntut adanya revisi dan pencabutan. Karena itu mereka melalui Lembaga Swadaya Masyarakat mengajukan Peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Alhasil, masyarakat sudah memprediksi sebelumnya bahwa jika kondisi lembaga penegak hukum di negeri ini belum berpihak kepada kebenaran dan keadilan karena masih dalam era penjajahan. Dampaknya, penegakan hukum mengalami ketidakberdayaan dan tidak memperdulikan konsep tujuan negara, salah satu diantaranya mengedepankan penegakan hukum demi terwujudnya negeri yang penuh kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat.
Sayang vonis MK tersebut adalah menolak gugatan sejumlah kalangan LSM dan tetap menganggap UU dan kebijakan-kebijakan tersebut adalah konstitusional. Pada hal, kalangan masyarakat berharap bahwa tampilnya Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial bisa menjadi benteng penegak keadilan dan kebenaran, sehingga keputusannya mampu mendudukkan pada porsi sebagaimana mestinya yaitu mampu melihat sebuah persoalan dengan mempertimbangkan berbagai perspektif, melainkan malah menjadi alat kekuasaan.
Inilah yang menjadi pertanyaan dan keprihatinan, akankah terwujud suatu negeri yang mutlak merdeka jika dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan yang dikuasai elit politik ditandai dengan keserakahan, ketamakan dan korupsi serta kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyatnya. Itulah barangkali yang membuat rakyat tidak percaya lagi dan muak serta mencemooh kinerja lembaga pemerintahan.
Dalam kondisi seperti ini, maka wajar,jika paska negeri kemerdekaan bukan kemakmuran dan kesejahteraan yang diperoleh rakyat kecil melainkan berbagai problema terus datang silih berganti tak henti-hentinya dan hanya para elit politik birokrasi dan kroninya yang bisa bersenang-senang menikmati kesejahteraan dan kemakmuran, karena kebijakan-kebijakan yang dibuatnya tak lebih hanya untuk mensejahterakan dan memakmurkan kepentingan dirinya dan kelompoknya . Dan tercatat lebih dari seratus juta rakyat hidup dalam kemiskinan di negerinya sendiri yang berlimpah kekayaan. Pengangguran melonjak ke tingkat yang sangat memprihatinkan, ditambah kenaikan harga barang terus melonjak, dan tanpa ada keseriusan dari pihak penguasa untuk mengatasi problema ini dengan memberi lapangan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi setiap warga negara sesuai amanat UUD.
Cita-cita kemerdekaan bangsa ini bukanlah memfasilitasi pihak asing untuk kembali menjajah negeri ini meski dengan label konstitusi tetap tidak dibenarkan sebab para pendiri kemerdekaan selalu menekankan dihapusnya intervensi dan penjajahan dalam bentuk apapun karena dominasi dan intervensi tidak akan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, sebagaimana tujuan kemerdekaan, maka suara rakyat akan terus bergema dengan letupan keraaaaaas……………..! Merdeka…..? Merdeka……? Merdeka……?
Oleh : Ngar Ghibran